Pendahuluan
Cloud computing (CC) atau terjemah bebas dalam bahasa Indonesia, Komputasi Awan, merupakan suatu model yang memberikan kenyamanan akses suatu jaringan sesuai keperluan pada suatu wadah bersama terdiri atas sumber daya komputasi (seperti jaringan, server, penyimpanan, aplikasi, dan layanan) yang dapat dikonfigurasi dengan cepat. [1] Namun, dibalik kenyamanan tersebut terdapat beberapa ancaman yang dapat membahayakan, baik individu, kelompok, bahkan negara. Beberapa ancaman yang dapat membahayakan cloud computing adalah kebocoran data, pencurian kredensial, peretasan API, eksploitasi kerentanan sistem, pembajakan akun, hilangnya data secara permanen, penyalahgunaan layanan cloud, dan serangan DOS. [2] Oleh karena itu, perlu ada standar keamanan yang diterapkan pada penyedia cloud computing. Selain itu, perlu juga hukum yang membatasi penggunaan cloud computing, terutama data yang menyangkut banyak orang dan data rahasia. Pada tulisan ini akan dibahas standar keamanan yang perlu dipenuhi suatu penyedia cloud computing serta hukum yang berlaku di Indonesia terkait cloud computing.
Jenis Layanan Cloud
Beberapa jenis layanan cloud [1], yaitu:
- Infrastructure as a Service (IaaS): IaaS menyediakan penyimpanan atau sumber daya komputasi yang dapat diakses online. Misalnya, Google Cloud Storage, Microsoft Windows Azure Storage, dan Dropbox.
- Platform as a Service (PaaS): PaaS menyediakan sebuah platform kepada pelanggan untuk menjalankan aplikasi. Biasanya PaaS menyediakan software development tool untuk membangun suatu aplikasi pada platform. Jenis aplikasi umum yang biasa dijalankan pada platform adalah suatu skrip (seperti PHP, Python) atau kode byte (seperti C#). Contoh penyedia PaaS, seperti Google App Engine atau Microsoft Azure.
- Software as a Service (SaaS): SaaS menyediakan akses penuh terhadap software atau aplikasi. Aplikasi tersebut seperti email server, email client, atau document editor. Biasanya layanan SaaS dapat diakses melalui browser.
Ilustrasi jenis-jenis layanan cloud adalah seperti pada gambar berikut.
Gambar 1. Jenis-jenis layanan cloud computing [3]
Standar Keamanan
Suatu penyedia cloud computing perlu memenuhi standard untuk menjamin keamanan penggunanya. Berikut ini merupakan pemetaan standard keamanan yang perlu diperhatikan oleh penyedia cloud computing. [4]
Standar Autentikasi dan Otorisasi
Tabel 1. Standard keamanan: autentikasi dan otorisasi
Kategori | Standard yang Tersedia | Organisasi |
Autentikasi dan Otorisasi | RFC 5246
Secure Sockets Layer (SSL)/ Transport Layer Security (TLS) |
IETF |
RFC 3820: X.509
Public Key Infrastructure (PKI) Proxy Certificate Profile |
IETF | |
RFC5280: Internet X.509
Public Key Infrastructure Certificate and Certificate Revocation List (CRL) Profile |
IETF | |
RFC 5849
OAuth (Open Authorization Protocol) |
IETF | |
ISO/IEC 9594-8:2008 | X.509
Information technology — Open Systems Interconnection — The Directory: Public-key and attribute certificate frameworks |
ISO/IEC
& ITU-T |
|
ISO/IEC 29115 | X.1254
Information technology — Security techniques — Entity authentication assurance framework |
ISO/IEC
& ITU-T |
|
FIPS 181
Automated Password Generator |
NIST | |
FIPS 190
Guideline for the Use of Advanced Authentication Technology Alternatives |
NIST | |
FIPS 196
Entity Authentication Using Public Key Cryptography |
NIST | |
OpenID Authentication | OpenID | |
eXtensible Access Control Markup Language (XACML) | OASIS | |
Security Assertion Markup Language (SAML) | OASIS |
Standar Kerahasiaan
Tabel 2. Standard keamanan: kerahasiaan (confidentiality)
Kategori | Standard yang Tersedia | Organisasi |
Kerahasiaan | RFC 5246
Secure Sockets Layer (SSL)/ Transport Layer Security (TLS) |
IETF |
Key Management Interoperability Protocol (KMIP) | OASIS | |
XML Encryption Syntax and Processing | W3C | |
FIPS 140-2
Security Requirements for Cryptographic Modules |
NIST | |
FIPS 185
Escrowed Encryption Standard (EES) |
NIST | |
FIPS 197
Advanced Encryption Standard (AES) |
NIST | |
FIPS 188
Standard Security Label for Information Transfer |
NIST |
Standar Integritas
Tabel 3. Standard keamanan: integritas (integrity)
Kategori | Standard yang Tersedia | Organisasi |
Integritas | XML signature (XMLDSig) | W3C |
FIPS 180-4
Secure Hash Standard (SHS) |
NIST | |
FIPS 186-4
Digital Signature Standard (DSS) |
NIST | |
FIPS 198-1
The Keyed-Hash Message Authentication Code (HMAC) |
NIST |
Standar Manajemen Identitas
Tabel 4. Standard keamanan: manajemen identitas
Kategori | Standard yang Tersedia | Organisasi |
Manajemen identitas | X.idmcc
Requirement of IdM in Cloud Computing |
ITU-T |
FIPS 201-1
Personal Identity Verification (PIV) of Federal Employees and Contractors |
NIST | |
Service Provisioning Markup Language (SPML) | OASIS | |
Web Services Federation Language (WS-Federation) Version 1.2 | OASIS | |
WS-Trust 1.3 | OASIS | |
Security Assertion Markup Language (SAML) | OASIS | |
OpenID Authentication 1.1 | OpenID Foundation |
Standar Monitoring Keamanan dan Respon Insiden
Tabel 5. Standard keamanan: monitoring keamanan dan respon insiden
Kategori | Standard yang Tersedia | Organisasi |
Monitoring Keamanan dan Respon Insiden | ISO/IEC WD 27035-1
Information technology — Security techniques — Information security incident management — Part 1: Principles of incident management |
ISO/IEC |
ISO/IEC WD 27035-3
Information technology — Security techniques — Information security incident management — Part 3: Guidelines for CSIRT operations |
ISO/IEC | |
ISO/IEC WD 27039; Information technology — Security techniques — Selection, deployment and operations of intrusion detection systems | ISO/IEC | |
ISO/IEC 18180
Information technology – Specification for the Extensible Configuration Checklist Description Format (XCCDF) Version 1.2 (NIST IR 7275) |
ISO/IEC | |
X.1500
Cybersecurity information exchange techniques |
ITU-T | |
X.1520: Common vulnerabilities and exposures | ITU-T | |
X.1521
Common Vulnerability Scoring System |
ITU-T | |
PCI Data Security Standard | PCI | |
FIPS 191
Guideline for the Analysis of Local Area Network Security |
NIST |
Standar Kendali Keamanan
Tabel 6. Standard keamanan: kendali keamanan
Kategori | Standard yang Tersedia | Organisasi |
Kendali Keamanan | Cloud Controls Matrix Version 1.3 | CSA |
ISO/IEC 27001:2005
Information Technology – Security Techniques Information Security Management Systems Requirements |
ISO/IEC | |
ISO/IEC WD TS 27017
Information technology — Security techniques — Information security management – Guidelines on information security controls for the use of cloud computing services based on ISO/IEC 27002 |
ISO/IEC | |
ISO/IEC 27018
Code of Practice for Data Protection Controls for Public Cloud Computing Services |
ISO/IEC | |
ISO/IEC 1st WD 27036-4
Information technology – Security techniques – Information security for supplier relationships – Part 4: Guidelines for security of cloud services |
ISO/IEC |
Standar Manajemen Kebijakan Keamanan
Tabel 7. Standard keamanan: manajemen kebijakan keamanan
Kategori | Standard yang Tersedia | Organisasi |
Manajemen Kebijakan Keamanan | ATIS-02000008
Trusted Information Exchange (TIE) |
ATIS |
FIPS 199
Standards for Security Categorization of Federal Information and Information Systems |
NIST | |
FIPS 200
Minimum Security Requirements for Federal Information and Information Systems |
NIST | |
ISO/IEC 27002
Code of practice for information security management |
ISO/IEC | |
eXtensible Access Control Markup Language (XACML) | OASIS |
Standar Ketersediaan
Tabel 8. Standard keamanan: ketersediaan (availability)
Kategori | Standard yang Tersedia | Organisasi |
Ketersediaan | ATIS-02000009
Cloud Services Lifecycle Checklist |
ATIS |
ISO/PAS 22399:2007
Societal security – Guideline for incident preparedness and operational continuity management |
ISO |
Peraturan di Indonesia
Berdasakan definisi yang pada awal tulisan, dapat dilihat bahwa cloud computing dapat digunakan oleh pribadi, kelompok, perusahaan, maupun pemerintahan. Pengguna memiliki kebebasan terhadap layanan cloud computing yang dipakainya. Namun, kebebasan tersebut perlu dibatasi terutama hal-hal yang berkaitan dengan keamanan negara atau data-data rahasia. Oleh karena itu, perlu aturan yang membatasi penggunaan cloud computing.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) [5] dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) [6], penyedia layanan cloud computing termasuk ke dalam kategori Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang perlu mematuhi aturan-aturan berikut. [6]
- Kewajiban pendaftaran bagi PSE pelayanan publik (Pasal 5)
- Kewajiban sertifikasi kelaikan hardware (Pasal 6)
- Kewajiban didaftarkannya software bagi PSE pelayanan publik (Pasal 7)
- Ketentuan tentang penggunaan tenaga ahli (Pasal 10)
- Kewajiban-kewajiban dalam tata kelola sistem elektronik (Pasal 12)
- Penerapan manajemen risiko penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 13)
- Kewajiban memiliki kebijakan tata kelola dan SOP (Pasal 14)
- Kewajiban dan ketentuan tentang pengelolaan kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi (Pasal 15)
- Pemenuhan persyaratan tata kelola bagi PSE untuk pelayanan publik (Pasal 16)
- Penempatan pusat data dan pusat pemulihan bencana serta mitigasi atas rencana keberlangsungan kegiatan penyelenggara sistem elektronik (Pasal 17)
- Pengamanan penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 18 s.d. 19)
- Kewajiban sertifikasi kelaikan sistem bagi PSE pelayanan publik (Pasal 30 s.d. 32)
Aturan Penempatan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Data
Berdasarkan PP PSTE Pasal 17 ayat (2) dan (3), yaitu PSE untuk pelayanan publik diwajibkan untuk menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia. Adapun isi dari PP PSTE Pasal 17 ayat (2) dan (3) sebagai berikut.
- Ayat (2): Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
- Ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penempatan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
Penjelasan PP PSTE
Berdasarkan penjelasan pada PP PSTE, pusat data yang dimaksud pada ayat (2) di atas adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk menempatkan Sistem Elektronik dan komponen terkaitnya untuk keperluan penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data. Sedangkan pusat pemulihan bencana adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi-fungsi penting Sistem Elektronik yang terganggu atau rusak akibat terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam atau manusia.
Meskipun ada aturan yang membatasi penempatan pusat data, sanksi untuk penyelenggara yang melanggar tidak diatur secara tegas. Berdasarkan Pasal 84 PP PSTE tentang sanksi administratif, sanksi diberikan jika PSE pelayanan publik tidak memiliki rencana keberlangsungan kegiatan untuk menanggulangi gangguan atau bencana sesuai dengan risiko dari dampak yang ditimbulkan (Pasal 17 ayat 1 PP PSTE). Permasalahannya adalah pelanggaran terhadap aturan penempatan pusat data atau pusat pemulihan data termasuk ke dalam “tidak memiliki rencana keberlangsungan kegiatan” atau tidak. Hal tersebut tidak ada penjelasannya pada dokumen PP PSTE.
Aturan Penempatan Informasi Elektronik
Setelah pembahasan penempatan pusat data dan pusat pemulihan data, berikutnya adalah penempatan informasi elektronik. Pada bagian ini akan dibahas aturan penempatan informasi elektronik bagi suatu lembaga atau perusahaan pelayanan publik dalam penempatan data-datanya ketika menggunakan jasa penyedia cloud computing. Oleh karena itu, dua paragraf berikut menjelaskan lebih dahulu mengenai definisi pelayanan publik dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Definisi Pelayanan Publik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik [7] dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (PP Pelayanan Publik) [8], definisi Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Lalu, definisi Penyelenggara Pelayanan Publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik (Pasal 1 angka 2 PP Pelayanan Publik).
Penyelenggara Pelayanan Publik
Berdasarkan PP Pelayanan Publik [8], penyelenggaraan Pelayanan Publik termasuk dalam kategori pelayanan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 5 huruf c PP Pelayanan Publik). Penyelenggara Pelayanan Publik dapat berupa badan hukum lain (selain instansi pemerintah, BUMN, atau lembaga independen) yang menyelenggarakan Pelayanan Publik dalam rangka pelaksanaan Misi Negara (Pasal 10 ayat 1 huruf b PP Pelayanan Publik). Badan hukum lain yang dimaksud adalah badan swasta (korporasi atau yayasan) yang menyelenggarakan Pelayanan Publik dalam rangka pelaksanaan Misi Negara. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan kemampuan pemerintah sehingga dilaksanakan oleh badan swasta dengan biaya dai pemerintah atau subsidi. Badan hukum lain dapat dikategorikan sebagai Pelayanan Publik jika memiliki besaran nilai aktiva paling sedikitk 50 kali besaran pendapatan per kapita per tahun di wilayah administrasi pemerintahan penyelenggara pada tahun berjalan dan jaringan pelayanan yang pengguna pelayanannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi pemerintahan (Pasal 10 ayat 2 PP Pelayanan Publik).
Contoh
Berdasarkan penjelasan dua paragraf di atas, misalkan ada rumah sakit menggunakan jasa penyedia cloud computing. Lalu, rumah sakit tersebut memiliki nilai aktiva (aset) sebesar Rp300 miliar, dengan asumsi pendapatkan per kapita nasional sebesar Rp50 juta, maka nilai minal pengkategorian sebuah badan hukum yang menjalankan misi negara sebagai penyelenggara pelayanan publik adalah sebesar Rp2,5 miliar (Rp50 juta dikali 50). Oleh karena itu, rumah sakit tersebut termasuk ke dalam kategori penyelenggaraan layanan publik. Konsekuensinya adalah rumah sakit tersebut harus menggunakan jasa penyedia cloud computing yang lokasi pusat data dan pusat pemulihan datanya ada di wilayah Indonesia (Pasal 17 ayat 2 PP PSTE). Hal tersebut berarti, secara tidak langsung penyedia jasa cloud computing yang dipakai oleh rumah sakit tersebut termasuk ke dalam PSE pelayananan publik.
Berbeda hal jika penyedia jasa cloud computing memberikan pelayanan kepada perusahaan perminyakan untuk keperluan internal sistem informasi manajemen perusahaan, maka penyedia jasa cloud computing tersebut tidak termasuk ke dalam PSE pelayanan publik atau tidak memiliki kewajiban terhadap pasal-pasal PP PSTE terkait penyelenggaraan PSE untuk pelayanan publik.